ilmiah


Saat semuanya mengarah pada “ilmiah” kadang otakku yang kecil ini tidak mau menerima keilmiahan itu. Saat angka angka dijadikan tolak ukur suatu kesuksesan seseorang, tak terbayang dalam pikiranku untuk mengukur diriku dengan angka angka itu. Karena menurutku, tak semua harus ilmiah, tak semua harus dapat diukur dengan angka angka. Seperti merpati yang membonceng pesawat jumbo jet untuk mencapai daerah tujuannya. tapi ternyata ada angka angka yang sangat menarik. Ilmiah, menerangkan sesuatu yang bisa dipahami secara nalar.
kehidupan dunia. Kita ibaratkan kita hidup di dunia 100 tahun saja. Ini sudah estimasi yang melebihi kapasitas saya kira. Karena kebanyakan orang mati pada umur 60an. Untuk mati secara normal tentunya. Dengan sebuah perhitungan perbandingan kehidupan dunia dan akhirat, maka kehidupan akhirat itu kekal. Unlimited alias tak terhingga jangka waktunya. Jadi perbandingan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat adalah 100 th/∞ =0. Ya, dunia dan seisinya hanyalah 0 tak berarti jika dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Jadi tidak berlebihan jika Allah mengabarkan kepada kita kehidupan diakhirat dengan “wah” nikmatnya atau beratnya siksaan disana. Tak lain dan tak bukan semata karena mengingatkan kita untuk mempersiapkan diri di kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula. Saya mendapat rumus ini dari sebuah buku yang lupa saya judulnya. Tapi yang jelas bukunya ditulis oleh mahasiswa STIS. Afwan saya lupa.
Kalau dien itu adalah logika, tentu ketika mengusap qub (semacam sepatu) itu di bawahnya, bukan diatas (karena yang bawah yang kotor). Kalaupun dien itu dengan logika, kenapa wudhu hanya bagian bagian wudhu sekarang? Padahal yang membatalkan adalah kentut, buang air padahal letak yang membatalkan tidak di area wudhu. Bukankah semertinya yang bertanggungjawab adalah yang berhubungan dengan itu?
Kalau dilogika, susah untuk memahami seorang kekasih yang menunggu pujaan hatinya ber jam jam dengan rela, padahal pekerjaannya yang lain menumpuk. Kalau pakai logika, mana mau orang tua membiayai pendidikan anak perempuannya padahal nanti ilmu yang didapat tidak dipakai kerja di kantor dan menghasilkan uang.
Kalau dilogika, shodaqoh itu mengurangi harta kita! Tapi pada hakikatnya tidak. Bahkan menambah rizki kita (baca buku buku ust.yusuf mansyur). Kalau saya baca cashflow quadrant-nya robert t kiyosaki, memberi adalah salah satu sarana untuk menanamkan rasa bahwa kita ini mampu dan berfikir positif bahwa kita berkecukupan (karena mampu memberi), sehingga tersugesti pada pikiran kita untuk berkecukupan dan secara sadar atau tidak, sugesti itu terealisasi pada kegiatan seseorang yang memberi. Dan menjadikan yang kaya tambah kaya. –saya agak lupa–
Seseorang memang bagus dengan logika. Tapi hendaknya tidak menuhankan logika seperti orang orang barat. Yang hanya mengakui sesuatu kasat mata saja. Saran saya Pandai pandai menggunakan dan menempatkan logika, bukankah semakin diasah sabit akan semakin tajam?
Lantas bagaimana mengasahnya? Salah satu cara mengasahnya adalah mendatangi majelis majelis ilmu. Pemberi suplemen ruhani, sehingga logika bisa berjalan sesuai dengan kehendak illahi. Bukan nafsu hewani! Kalau mengenai masalah yang sensitif, saya harap kita berkhusnudzon dulu, lantas dengan cepat melakukan tabayyun pada masalah itu. Dengan begitu saya kira kondisi runyam bisa dihindari.
Jadi… Afwan jiddan kalau menggurui. Atau menyesatkan, Cuma share apa yang ada dalam hati kog… :-P
Wass…


ilmiah ilmiah Reviewed by Arief Adi NUgroho on 5/14/2009 10:42:00 AM Rating: 5
© untuk calon istriku. Diberdayakan oleh Blogger.